Namun, di bawah kepemimpinan Donald Trump, kebijakan ini dibalikkan. Pada 2017, Trump mengumumkan larangan baru terhadap pasukan transgender, dengan alasan bahwa mereka akan mengganggu kesiapan militer, menambah biaya, dan mengurangi rasa kebersamaan di antara para prajurit.
Meskipun kebijakan ini ditunda hingga 2018, akhirnya keputusan tersebut diambil dengan membalikkan kebijakan yang sudah ada sebelumnya.
Pada tahun 2021, Presiden Joe Biden berusaha untuk memperbaiki kebijakan ini dengan membatalkan larangan tersebut dan membolehkan warga transgender yang memenuhi syarat untuk bergabung dengan angkatan bersenjata, dengan menyatakan bahwa siapa pun yang layak untuk melayani, tanpa memandang identitas gender mereka, berhak untuk bergabung.
Dampak pada Militer AS dan Komunitas Transgender
Penerapan larangan terhadap pasukan transgender dapat memengaruhi lebih dari 15.000 anggota militer AS yang merupakan transgender. Meski jumlah ini terbilang kecil dibandingkan dengan keseluruhan jumlah personel militer AS yang mencapai lebih dari dua juta, namun dampak dari kebijakan ini cukup signifikan.
Ketika AS menghadapi kesulitan dalam merekrut personel baru, pemecatan pasukan transgender dapat memperburuk situasi rekrutmen dan memengaruhi kekuatan militer AS di masa depan.
Selain itu, kebijakan ini berpotensi memperburuk diskriminasi terhadap komunitas transgender, yang sudah menghadapi tantangan besar dalam hal hak-hak mereka di seluruh dunia.
Apakah kebijakan ini akan bertahan lama ataukah ada perubahan di masa depan? Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi yang jelas, ketegangan terkait hak-hak transgender di militer AS kembali menjadi sorotan dunia. (*)