IDENTITAS.CO.ID, AS – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif yang menghapuskan “ideologi transgender” dari militer AS pada Senin 27 Januari 2025.

Penghapusan ini sebuah langkah yang berpotensi menjadi kemunduran besar bagi hak-hak komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ).

Keputusan ini diumumkan setelah pertemuan Kongres Partai Republik di Miami, yang dihadiri Trump, di mana ia menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menjaga kekuatan tempur terbaik di dunia.

“Saya ingin memastikan bahwa militer kita tetap sebagai kekuatan tempur yang paling mematikan di dunia, dan untuk itu, kita harus menghapuskan ideologi transgender dari angkatan bersenjata kita,” kata Trump dalam pernyataan yang menimbulkan kontroversi tersebut.

Langkah ini menjadi langkah konkret pertama yang dilakukan Trump untuk merealisasikan janjinya, yang sebelumnya sempat menyatakan keinginan untuk menerapkan kembali larangan terhadap pasukan transgender.

Meskipun peraturan baru ini belum mengungkapkan rincian secara jelas, pejabat Gedung Putih menyatakan bahwa perintah tersebut mencakup “penghapusan radikalisme gender” di dalam militer.

Sejarah Kebijakan Militer yang Terus Berganti

Sejarah kebijakan terhadap tentara transgender di militer AS penuh dengan perubahan yang mencerminkan pergolakan politik dalam negara itu. Pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama, militer AS mencabut larangan bagi tentara transgender untuk melayani secara terbuka pada 2016. Hal ini memungkinkan mereka yang sudah terdaftar untuk menunjukkan identitas gender mereka tanpa takut dihukum atau dipermalukan. Bahkan, kebijakan tersebut membuka kesempatan bagi rekrut baru dari kalangan transgender pada tahun 2017.

Namun, di bawah kepemimpinan Donald Trump, kebijakan ini dibalikkan. Pada 2017, Trump mengumumkan larangan baru terhadap pasukan transgender, dengan alasan bahwa mereka akan mengganggu kesiapan militer, menambah biaya, dan mengurangi rasa kebersamaan di antara para prajurit.

Meskipun kebijakan ini ditunda hingga 2018, akhirnya keputusan tersebut diambil dengan membalikkan kebijakan yang sudah ada sebelumnya.

Pada tahun 2021, Presiden Joe Biden berusaha untuk memperbaiki kebijakan ini dengan membatalkan larangan tersebut dan membolehkan warga transgender yang memenuhi syarat untuk bergabung dengan angkatan bersenjata, dengan menyatakan bahwa siapa pun yang layak untuk melayani, tanpa memandang identitas gender mereka, berhak untuk bergabung.

Dampak pada Militer AS dan Komunitas Transgender

Penerapan larangan terhadap pasukan transgender dapat memengaruhi lebih dari 15.000 anggota militer AS yang merupakan transgender. Meski jumlah ini terbilang kecil dibandingkan dengan keseluruhan jumlah personel militer AS yang mencapai lebih dari dua juta, namun dampak dari kebijakan ini cukup signifikan.

Ketika AS menghadapi kesulitan dalam merekrut personel baru, pemecatan pasukan transgender dapat memperburuk situasi rekrutmen dan memengaruhi kekuatan militer AS di masa depan.

Selain itu, kebijakan ini berpotensi memperburuk diskriminasi terhadap komunitas transgender, yang sudah menghadapi tantangan besar dalam hal hak-hak mereka di seluruh dunia.

Apakah kebijakan ini akan bertahan lama ataukah ada perubahan di masa depan? Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi yang jelas, ketegangan terkait hak-hak transgender di militer AS kembali menjadi sorotan dunia. (*)