“Karena kredibilitas fiskal nasional juga terkait dengan model pengelolaan anggaran negara di bawah kepemimpinan Sri Mulyani yang dianggap sustainable dan berdisiplin tinggi, baik oleh publik maupun oleh investor,” ucap Ronny.

Ronny mengungkapkan dampak kedua adalah potensi capital outflow yang makin besar bila Sri Mulyani mundur akan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah. Hal ini juga bisa memicu peningkatan laju inflasi barang berbasis bahan baku impor.

Kemudian, kata dia, juga bisa memperburuk prospek investasi, terutama pada sektor finansial. Hal ini akan ditandai dengan turunnya kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Pendeknya, jika Sri Mulyani mundur, akan sangat berpengaruh terhadap kepercayaan investor sekaligus kepercayaan diri investor untuk berinvestasi di Indonesia, terutama di bidang finansial seperti surat utang negara, surat utang korporasi, pun pasar modal, karena dianggap disiplin fiskal akan melemah ketika Sri Mulyani tidak lagi menjabat,” tutur dia.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut mundurnya Sri Mulyani akan berdampak pada melonjaknya imbal hasil surat utang yang dipicu oleh turunnya rating utang pemerintah.

Pasalnya, ketidakhadiran Sri Mulyani dalam mengelola keuangan negara bisa meningkatkan risiko ketidakpastian arah kebijakan fiskal. Hal ini akan membuat investor di pasar keuangan skeptis dan meminta imbal hasil yang lebih tinggi untuk kompensasi risiko.

“Dampak lainnya adalah trust investor terhadap keberlanjutan mega proyek seperti IKN karena selama ini didukung APBN. Banyak investor teken LoI di IKN jadi ragu merealisasikan investasinya. Bukan lagi wait and see malah cenderung menarik diri,” ucap dia.