Menurutnya, Perdagangan orang atau yang dikenal dengan sebutan Human Trafficking merupakan bentuk kejahatan transnasional baru yang semakin marak terjadi.
Hal ini didasarkan pada data yang dikeluarkan International Organitation for Migration (IOM) yang mensinyalir sekitar 50 persen tenaga kerja Indonesia di luar negeri menjadi korban perdagangan orang.
Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan.
Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
Demikian halnya dengan pengenaan sanksi pidana terhadap para pelaku terbilang cukup berat yaitu pidana penjara 3 tahun sampai dengan 15 tahun telah siap menanti jika sekiranya seseorang terbukti terlibat dalam suatu tindak pidana perdagangan orang.
Hal yang menjadi permasalahan terkait pemberangkatan tenaga kerja migran keluar negeri adalah terkait aspek perlindungan, dimana pada umumnya mereka yang diberangkatkan tidak memiliki dokumen resmi sehingga ketika terjadinya suatu masalah maka yang bersangkutan sangat sulit untuk diperjuangkan terkait hak-haknya khususnya masalah gaji dan klaim uang duka atau tunjangan lain jika sekiranya yang bersangkutan meninggal dunia.