IDENTITAS.CO.ID, MAROS – Sejumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan (Sulsel) akhir-akhir ini. Mulai dari seorang anak diperkosa oleh ayah tirinya, pemerkosaan terhadap anak oleh tiga orang kakek-kakek, dan yang terbaru persetubuhan anak usai dicekoki minuman keras oleh kekasihnya sendiri.

Adanya beberapa kasus tersebut pun mendapat sorotan dari Komnas Perlindungan Anak Kabupaten Maros. Ketua Komnas Anak Kabupaten Maros, Rauf Mappatunru mengatakan Pemerintah Daerah (Pemda) Maros tidak boleh larut dalam euforia penghargaan Kabupaten Layak Anak (KLA) 2023 yang diterima baru-baru ini.

Rauf menilai kekerasan seksual pada anak di Maros menjadi isu serius yang harus diselesaikan pemda melalui kolaborasi dengan seluruh pihak yang berkelanjutan, karena mengancam hidup generasi serta akan menimbulkan rasa tidak aman bahkan trauma pada anak.

Rauf mendesak pemerintah agar mengkaji ulang kebijakan dan seluruh program perlindungan anak di Maros, supaya jangan hanya fokus pada bagaimana meraih penghargaan, tapi lalai dalam memberikan perlindungan terhadap anak agar anak dapat tumbuh, belajar, dan bermain secara aman dan nyaman.

“Kebijakan dan program perlindungan anak di Maros harus dikaji ulang, jangan hanya fokus meraih penghargaan sehingga lupa memberikan perlindungan,” kata Rauf, Minggu (30/07/2023).

Selain itu, Rauf juga meminta kepada Polres Maros agar lebih transparan dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak, serta tidak main-main dalam penerapan pasal bagi para pelaku kejahatan seksual pada anak.

Rauf juga mengingatkan penyidik Polres Maros yang menangani kasus anak SMP usia 13 tahun yang di rudapaksa R (19) lelaki yang baru dikenalnya melalui media sosial 3 minggu lalu.

Kekerasan seksual yang menimpa anak berusia 13 tahun tersebut tidak tepat jika disebut persetubuhan meskipun dilakukan bukan dengan paksaan melainkan dengan iming-iming.

“Sehingga polisi jangan membedakan antara perkosaan dengan persetubuhan terhadap anak. Bersetubuh dengan anak adalah perkosaan atau dikenal dengan statutory rape,”tegasnya.

Menurut Rauf, sangat miris bagi perkembangan komitmen penegakan hukum di Maros jika persetubuhan terhadap anak dinilai bukan pemerkosaan karena seolah akan menurunkan tingkat kejahatan tersebut, padahal ancaman pidananya lebih besar.

Pernyataan Polisi seperti itu kata Rauf sangat destruktif bagi pembaruan politik hukum di Indonesia, dan pernyataan ini menunjukkan pemahaman hukum yang parsial, tidak komprehensif, dan tidak sesuai dengan perkembangan komitmen hukum di Indonesia tentang kekerasan seksual yang telah diperbarui dengan adanya UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan juga dengan adanya UU Nomor 23 tahun 2002 serta perubahannya dalam UU Nomor 35 tahun 2014 dan UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Adanya klaim tentang persetubuhan anak, bahwa jika ada iming-iming maka “turun” menjadi persetubuhan. Justru sekalipun ada iming-iming, bujuk rayu, perbuatan itu tetaplah merupakan kekerasan seksual, bahkan level kejahatannya lebih berat.

Dalam UU Perlindungan Anak pengaturan ini memberikan degree atau level kejahatan persetubuhan kepada anak menjadi lebih berat, sekalipun dilakukan dengan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak tetap masuk ke dalam kategori kekerasan/ancaman kekerasan. Hukumannya pun lebih berat dengan perkosaan, jika dalam KUHP ancaman pidana maksimal 12 tahun, dalam UU Perlindungan Anak mencapai ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara bahkan apabila dilakukan oleh orang tertentu misalnya pendidik, dalam kasus ini pelaku pertama diketahui sebagai guru, ancaman pidana nya dapat bertambah 1/3.

Komnas Anak Maros berharap polisi dapat lebih memahami diskursus perlindungan anak bahwa setiap bentuk persetubuhan terhadap anak dengan bentuk cara apapun, kekerasan, ancaman ataupun rayuan sebagai perkosaan yang mutlak atau statutory rape.

Pasal 4 ayat (2) UU TPSK, persetubuhan terhadap anak adalah kekerasan seksual, juga dalam Pasal 473 ayat (2) huruf b UU Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP Baru telah mengambil politik hukum bahwa persetubuhan terhadap anak juga merupakan bentuk perkosaan.

Sementara itu aktifis pemerhati anak dan perempuan, Nirwana mengatakan, meningkatnya kasus pelecehan seksual pada anak di bawah umur di Kabupaten Maros seperti ledakan gunung es yang semakin membesar.

“Karena banyaknya korban pelecehan pada tahun ini semuanya perempuan di bawah umur, “ucapnya, minggu (30/07/2023)

Nonee sapaan akrab Nirwana menyebut kasus pelecehan seksual terhadap anak saat ini sangat miris sekali. “Kasihan mental para anak-anak perempuan yang menjadi korban,”katanya.

Untuk itu, Nonee pun juga meminta orang tua atau orang terdekat mendampingi korban dan saat dimintai keterangan harus berani berbicara.

“Tidak hanya itu, Kami meminta kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA)Kabupaten Maros ,Kapolres Maros, Komnas Perlindungan Anak untuk menyebar nomor telepon pengaduan pada setiap sekolahan baik itu milik pemerintah atau swasta agar para anak-anak kita bisa mengadu langsung,”tegasnya

Dikonfirmasi terpisah melalui pesan singkat WhatsApp, Kabid Perlindungan Perempuan DPPPA Maros, A.Rasma saat dimintai tanggapannya terkait kasus kekerasan anak hanya melakukan pengalihan.

“Bisa hubungi ibu Kabid Pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Khusus Anak. Kekerasan terhadap anak dan perempuan, sekarang sudah ditangani oleh UPTD PPA,” katanya. (***)